Cari Blog Ini

Selasa, 16 Januari 2024

Novel - All About You (Bagian 4)

 


Bagian 4

Kejutan

“Rayya, kamu lagi di Jakarta?”

Suara Vino kencang terdengar dari ponsel di telingaku.

“Iya.” Aku menjawab dengan sedikit menjauhkan ponsel dari telinga.

Shareloc, dong!”

“Hah?”

Mulutku ternganga mendengar kara shareloc yang baru saja diucapkan Vino.

“Udah ga usah sok kaget. Aku tahu pasti kamu di sana lagi ga bisa ngomong.” Vino terbahak.

“Aku tadi baca story IG kamu. Aku pernah bilang apa ke kamu? Semesta itu terlalu baik sama kita, Ya. Aku lagi di Jakarta sekarang. Sejak dua hari yang lalu sih sebenarnya. Ada urusan kerjaan.”

Aku masih tidak mampu berkata apapun. Mulutku masih terbuka lebar dan tidak percaya atas takdir apa yang sedang terjadi dalam hidupku.

“Hei, are you still there, Ya? Aku tahu pasti sekarang kamu lagi bengong.” Vino tertawa sekali lagi.

“Udah deh ketawanya. Resek banget sih.” Suara manjaku tiba-tiba keluar begitu saja.

“Aku suka nada manjamu, Ya.” Kali ini tawa Vino agak ringan.

“Kamu di derah mana emangnya?”

“Pecenongan.”

“Jauh juga sama tempatku.”

“Ga ada kata jauh kalo kita mau berusaha, Ya.”

“Idih, sok bijak banget.” Kali ini gantian aku yang tertawa.

Percakapan via telepon itu akhirnya berhenti juga setelah aku mengirimkan lokasi apartemenku via whatsapp. Meski berat, ada rasa senang yang muncul dalam hatiku. Entah apa namanya. Aku sulit menerjemahkan segala rasa yang muncul tiba-tiba.

###

Hari ini adalah hari pertamaku di kantor. Pak Surya rupanya sudah menyiapkan segalanya. Ada sopir pribadi yang siap menjemputku dari apartemen menuju kantor. Sebenarnya sudah sejak kedatanganku kemarin sopir ini hendak menjemputku tapi aku sudah mengatakan jika ada kerabatku yang sudah siap menjemput.

Kata Pak Surya, jika aku sudah hafal seluk beluk kota Jakarta aku boleh membawa mobil ini sendiri. Baik sekali bos satu itu. Posisiku saat awal masuk di perusahan milik Surya Gumilang itu hanyalah staf biasa. Kemudian aku dipromosikan menjadi supervisor. Setelah melihat kinerjaku yang lumayan, Pak Surya mengangkatku sebagai manajer produksi lalu menjadikanku sebagai sekretaris pribadinya yang mengatur semua kegiatan perusahaan atas arahannya. Sekarang posisiku masih sama sebagai manajer tapi di kantor cabang yang baru saja dibuka. Itu artinya aku termasuk bagian vital dari kelangsungan perusahaan ini.

Blazer warna salem dengan setelan rok selutut menemani hari pertamaku di kantor. Rambut sebahuku hanya kuberi jepit kecil di atas telinga sebelah kiri. Sementara itu yang lain kubiarkan terurai. Tas merk charleskeith model selempang tampak serasi saat menggantung di bahuku. High hells warna krem membuat kakiku tampak lebih jenjang.

Setelah ada semacam official ceremony di ruang direksi, aku bersama para undangan lainnya disilakan untuk menikmati jamuan yang sudah tersedia di pantry. Disitulah aku kaget luar biasa. Vino ada di sana.

“Vino…”

Aku berteriak hingga beberapa kolega menatapku. Seketika itu juga aku menutup mulut.

“Semesta punya rencana apa lagi?”

Pertanyaanku disambut senyum olehnya.

“Aku bener-bener ga percaya kita bisa ketemu di sini, Ya.”

“Apalagi aku. Bukannya kamu bilang kalau kamu di Pecenongan. Ini Kelapa Gading loh.” Kami berdua tertawa.

“Duduk, Ya!”

Kami berdua duduk di pantry. Ia kemudian bercerita jika teman yang membawanya bekerja di Aussie dulu adalah salah satu direksi dari Perusahaan Garmen yang juga milik Pak Surya ini. Ia juga bercerita jika saat ini ia sedang mengikuti kelas jauh untuk pendidikan S1.

“Jadi aku sempat ikut kejar paket dulu, Ya. Before I went to Aussie. Nah, sambil aku kerja di toko kaus aku ambil kuliah kelas jauh.”

“Terus yang katamu ada kerjaan di Jakarta itu apa?”

“Ada seminar bisnis. Aku rajin ikut begituan loh, Ya.” Vino menggodaku dengan membanggakan dirinya sendiri.

“Lalu David bilang kalau perusahaannya merger dengan salah satu perusahaan garmen asal Surabaya. Aku diundang di soft launch-nya. Aku tidak punya pikiran sama sekali kalo ada kamu. Aku baru tahu saat kamu kasih speech di ceremonial tadi.”

“Vino. I can’t say anything.”

“Kenapa jadi kamu yang sok inggris?”

Aku mendorong bahu lelaki itu sambil tertawa. Ia tampak berbeda. Kemeja warna biru yang dimasukkan ke dalam celana formal warna hitam berpadu dengan sepatu pantofel yang juga berwarna hitam. Lengan kemejanya dilipat sampai siku. Vino semakin menawan.

“Bagiku semesta itu aneh, bukan luar biasa.”

Kami berdua tertawa.

cvKami berpisah di lobby. Sopir sudah menungguku dan Vino sudah ditunggu David, temannya itu. Ia berjanji akan mampir di apartemenku sebelum kembali pulang ke Jogja. Waktunya di Jakarta hanya tersisa dua hari. Katanya, ia harus benar-benar memanfaatkan waktunya di sini bersamaku.

Sepulang dari kantor aku segera membersihkan diri dan meletakkan barang-barang yang kemarin belum sempat kurapikan. Tanganku berhenti pada sebuah pigura yang masih berada dalam box. Pigura berisi fotoku dan Kak Fikri ini kuambil dari kamarnya saat aku ke Jogja waktu itu. Aku menatap pigura itu dalam-dalam. Aku usap foto kami beberapa kali.

“Kak, Rayya Ikhlas. Izinkan Rayya membuka hati untuk orang lain ya, Kak. Tapi Rayya belum tahu orangnya siapa. Oh ya, Kak. Kak Fikri ingat Vino ndak? Lelaki yang pernah Rayya ceritakan dulu. Dia datang lagi, Kak. Tapi Rayya berharap orang yang mampu membuka hati Rayya bukanlah Vino.”

Aku berbicara kepada pigura itu. Lalu kupeluknya erat. Memang merindukan orang yang sudah tiada itu sakit dan terlampau berat.

Kesibukanku di kantor dua hari ini sangat menyita waktu. Ajakan Vino untuk bertemu di malam harinya sengaja aku tolak. Dua hari ini aku pulang malam dari kantor. Aku ingin istirahat saja untuk melepas lelah. Pesan terakhir dari Vino kemudian kubalas dengan panggilan telepon.

“Keretamu jam berapa?”

“Jam satu malam ini. Beneran ga bisa ketemu nih?”

Save trip, ya. Semoga lain kali bisa ketemu lagi.”

Vino sangat paham jika aku berkata tidak maka kenyataannya adalah tidak. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Padahal aku sangat paham jika ia benar-benar ingin menemuiku. Tiba-tiba aku berpikir, Vino benar-benar memahamiku atau justru merasa terpaksa memahami?


Senin, 15 Januari 2024

Novel - All About You (Bagian 3)

 


Bagian 3

Harapan Baru

Akhir bulan dan laporan bulanan harus segera kuselesaikan. Sepertinya hari ini aku akan lembur. Aku ingin menyelesaikan semuanya agar besok aku bisa bersantai di rumah. Liburan akhir tahun ini benar-benar harus bisa kumanfaatkan dengan baik. Satu bulan ini benar-benar kuhabiskan untuk bekerja. Otakku dipaksa berpikir keras. Sudah seharusnya aku meletakkannya sebentar agar nantinya bisa fresh kembali.

Aku sengaja menghabiskan waktuku untuk bekerja. Alih-alih agar aku melupakan segala kepenatan yang selama ini ada dalam hidupku. Pasca kepulanganku dari Jogja bulan lalu, aku ingin bersumpah untuk memulai hidup baru. Beberapa kali panggilan dari Vino tidak kuangkat. Pun dengan puluhan pesan yang mendarat di ponselku. Bagiku Vino adalah masa lalu. Pun dengan Kak Fikri. Ia sudah berada jauh di atas awan. Aku harus memulai hidup baru.

“Rayya, dipanggil Pak Surya, tuh.” Rima menghampiri mejaku.

“Ngapain lagi? Bukannya laporan udah kelar semua ya?

Aku menggerutu sambil menuju ke ruangan Pak Surya segera.

“Permisi, Bapak.” Aku mengetuk pintu ruangan Pak Surya. Dengan sekali anggukan ia mengizinkan aku masuk.

“Rayya, saya merasa jika kamu sudah cukup mampu menghandle semua urusan perusahaan. Bulan depan adalah soft launch branch kita yang di Jakarta. Saya percaya kamu bisa mengurus semua di sana.”

“Hah? Jakarta, Pak?”

“Ya. Saya harap kamu tidak akan menolaknya.”

Aku bingung harus menjawab apa. Aku senang karena ini merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam karirku. Selain itu, merasakan atmosfer Jakarta pasti akan memberikan warna baru dan mungkin menjadi semacam short escape dari seluruh pelik yang pernah kurasa. Namun, dengan aku pindah ke Jakarta artinya aku akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Aku harus meminta izin kepada mereka.

“Boleh saya kabari nanti, Pak? Saya harus membicarakan ini dengan keluarga saya dulu.”

“Ok. Don’t be too late, Ya.”

Aku mengangguk dan mengucapkan permisi.

Rima dan beberapa rekan mendekat ke mejaku. Mereka sangat ingin tahu maksud Pak Surya memanggilku.

“Jangan-Jangan Pak Surya suka sama Rayya,” seloroh Fadil.

“Eh ga usah aneh-aneh deh. Pak Surya itu cocoknya jadi Bokapnya Rayya,” timpal Rima.

“Coba tebak Pak Surya bilang apa?” Aku tersenyum centil kepada mereka.

Happy nih kayaknya,” goda Rima.

“Aku mau dipindahkan ke branch baru kita di Jakarta. Manajer Produksi in our new branch.”

Mereka berteriak tak percaya. Rima dan Fadil menutup mulut mereka dengan kedua tangan. Sementara yang lain memelukku.

Congrats, Bes... You deserve better.”

Your welcome, Bestiii...” Aku memeluk Rima.

“Tapi aku belom say yes.”

Seketika itu pelukan Rima ia lepaskan.

“Kenapa? Resek banget sih. Itu kan pencapaian tertinggi buat kamu. Jakarta woy... Jakarta.”

“Aku harus tetep bilang ke Ayah Bunda dong ya...”

“Fix anak mama deh kalo mereka ga kasih izin. Fix ga pengen kamu keren berarti mereka.”

“Enak aja. Udah balik sana.” Aku mendorong punggung Rima dan yang lain agar mereka kembali ke meja masing-masing

Jamuan makan malam bersama sudah dimulai saat aku tiba di rumah. Bunda menyuruhku untuk segera mandi dan ganti baju. Ayah bilang akan menungguku selesai beberes untuk kemudian makan bersama.

“Bund, bulan depan Rayya dipindah ke Jakarta. Kantor buka cabang di sana. Pak Surya meminta Rayya buat handle semuanya.”

Raut wajah Ayah dan Bunda tampak bahagia.

Congrats ya, sayang.” Ibu memelukku.

“Di Jakarta lama dong?” tanya Ayah.

Aku mengangguk. Bunda menatap Ayah dengan kode yang tidak aku mengerti.

“Bunda sama Ayah bangga atas pencapaianmu. Tapi kamu harus tahu jika usiamu sekarang sudah seperempat abad. Tahun depan sudah dua enam kan?”

“Kan masih dua enam, Bund. Belum juga tiga puluh.” Aku tertawa sembari memasukkan potongan ayam ke mulutku.”

“Teman-temanmu sudah banyak yang menikah loh, Ya.”

“Ayah... Trust me! Rayya akan bilang ke Ayah dan Bunda kalau Rayya sudah siap untuk semua.” Aku memegang tangan Ayah.

“Kamu harus bisa pelan-pelan melupakan Fikri. Pasti Fikri di sana juga sedih kalau kamu belum bisa move on. Kasihan dong Fikri bisa-bisa ga tenang di sana.” Bunda mengatakan kepadaku dengan nada yang membuatku merasa iba.

“Bunda sama Ayah tenang aja. Rayya sudah ikhlas Kak Fikri pergi. Rayya lagi belajar pelan-pelan buat move on. Tapi sekarang Rayya lagi pengen fokus kerja. Ayah sama Bunda percaya Rayya, kan?”

Mereka berdua tersenyum dan mengangguk.

Tawaran Pak Surya benar-benar aku pertimbangkan. Aku harus menemukan tempat baru untuk upgrading skill. Aku ingin mengejar segala pencapaian yang pernah aku impikan. Aku ingin selesai dengan duniaku sendiri sebelum aku memutuskan untuk berbagi dunia dengan orang lain. Aku memejamkan mata. Kumantapkan hati untuk menerima tawaran Pak Surya. Ya. Besok aku akan menyampaikan kepada bosku itu bahwa aku siap dipindah ke Jakarta.

###

            Pesawat dengan nomor penerbangan QR-208 itu akan lepas landas pukul 7:15 pagi ini. Ayah mengantarkanku ke Bandara Juanda Surabaya bersama Bunda. Di pintu keberangkatan Ayah dan Bunda bergantian memelukku.

“Sampai Jakarta langsung kabari Bunda ya, sayang.”

“Om Rio sudah Ayah hubungi. Nanti dia yang akan jemput kamu di bandara. Langsung aktifkan ponselmu setelah pesawat turun biar kalau Om Rio telfon jadi gampang.”

Ayah dan Bunda bergantian berpesan. Aku hanya mengangguk, memeluk mereka, dan menatap mereka haru. Bergegas aku mendorong koper menuju booth chek-in bagasi. Setelah menerima boarding pass aku berjalan ke arah tangga menuju gate 1 tempatku menunggu pesawat. Aku masih punya waktu sekitar empat puluh lima menit sebelum panggilan masuk ke pesawat. Waktu yang cukup lama ini aku gunakan untuk scrolling media sosial. Tiba-tiba ada keinginanku untuk membuka blokir akun Vino yang pernah kublok beberapa tahun silam. Antara ragu dan benar-benar ingin aku menggerakkan layar naik turun. Akhirnya unblocked.

Setelah itu ada satu panggilan dari Rima.

“Udah di Bandara? Sorry ya ga bisa nganter. Telat bangun, nih” Suara Rima yang nyaring mengudara.

“Tenang aja. Tinggal nunggu pesawat boarding aja. Bakal kangen banget nih sama kamu, Bes…”

“Pasti lah. You’ll miss me every day. Jangan lupa buat telepon aku ya. Awas kalau pura-pura lupa karena udah jadi anak Jekardah.”

“Iya, Bawel. Rim…”

“Iya…”

“Aku abis unbloked semua akun Vino.”

“Heh? Yakin?”

Aku menggumam.

“Ya, kamu sendiri yang bilang kalau kamu pengen suasana baru di Jakarta. Dengan buka blokirannya, tuh orang bisa dengan mudah tau posisi kamu sekarang dimana. Disamperin di Jakarta baru tahu rasa kamu.”

“Ga akan.”

“Halah. Ga akan gimana? Awas aja ya kalo kamu ada apa-apa ga usah minta bantuan sama aku.”

“Rima, please.

Rima menutup telepon. Sepertinya ia sebal kepadaku yang tidak konsisten ini.

Panggilan boarding baru saja kudengar. Bergegas aku menuju ke petugas yang mengarahkanku ke garbarata. Di lorong garbarata ini aku mengambil gambar kemudian aku memasang story di Instagram dengan narasi: Wait me! Hei, Jakarta. Setelah menemukan kursiku dan merapikan seatbelt, aku sentuh ikon turn off di layar. Aku ingin tidur selama enam puluh menit perjalanan ini.

Om Rio, saudara jauh ayahku sudah menunggu tepat di sebelah pintu keluar terminal 3 Bandara Soetta. Setelah aku mengambil koper di conveyor belt 10, aku menuju imana yang dipandu oleh Om Rio melalui telepon. Aku langsung bisa mengenali tubuh tegap dengan kemeja yang tangannya dipilin ke atas itu karena memang kita sering bertemu.

Welcome to Jakarta, Ya. How’s life?” sapa Om Rio.

“Baik, Om. Sehat semua, Om?”

Every thing’s fine. Apartemen kamu di daerah Kelapa Gading, ya?”

Aku mengangguk.

Aku berjalan mengikuti Om Rio hingga ke tempat dimana ia memarkir mobilnya. Setelah itu, ia mengajakku ke rumahnya untuk bertemu dengan istri dan anaknya sebelum mengantarkan aku ke apartemen di siang harinya. Melihat suasana Jakarta dari kaca, ada harapan besar dalam hatiku untuk sebuah masa depan. Suasana baru yang aku impikan benar-benar harus terwujud selama aku berada di kota ini. Namun, harapan itu tiba-tiba menyingkir perlahan saat sebuah panggilan mendarat di ponselku. Vino.

Minggu, 14 Januari 2024

Novel - All About You (Bagian 2)

 



Bagian 2

Kenyataan Pahit

Hamparan rumput hijau dengan batu nisan berjajar tampak sepanjang mataku. Aku mendorong kursi roda yang diduduki Mama. Nisa berjalan di sampingku dengan menggandeng Abah. Hari ini kami mengunjungi makam Kak Fikri. Mama menangis tersedu sejak awal kami datang hingga selesai berdoa. Cukup lama kami berada di sini hingga Abah mengajak untuk pulang. Namun, aku tetap ingin tinggal. Aku ingin mengenang segala tentang lelaki itu.

“Rayya boleh di sini sebentar?”

Abah mengangguk. Nisa mendorong kursi roda Mama disusul dengan Abah yang berjalan di sampingnya. Mereka kembali ke mobil lebih dulu.

Kupeluk nisan batu bertuliskan nama lelaki itu. Aku tidak percaya jika ternyata aku kuat sampai aku bisa menapakkan kakiku ke tempat ini. Ini adalah kali keduaku kemari. Namun, saat pemakaman itu aku hanya diam di dalam mobil. Aku tidak pernah kuat melangkahkan kaki untuk melihat bagaimana tubuh itu dikebumikan.

“Kak, Rayya kangen. Rayya kangen Kak Fikri.”

Aku tidak bisa berkata apapun lagi selain tangis yang semakin tersedu. Rindu ini benar-benar tidak bisa dihentikan. Pun tak mampu kudefinisikan. Aku benar-benar kehilangan.

Hampir lima belas menit aku duduk di samping pusaranya. Aku memutuskan untuk kembali ke mobil saat Nisa meneleponku.

“Apa?”

Bergegas aku berlari menuju mobil saat kudengar Nisa mengatakan jika Mama tak sadarkan diri ketika hendak masuk ke mobil. Nisa bilang kita harus segera ke rumah sakit.

“Tidak…”

Aku menutup mulut dan memundurkan tubuhku ke dinding saat dokter mengatakan jika Mama tidak tertolong. Nisa berteriak memeluk jasad itu. Abah terpaku di samping ranjang. Aku jatuh terduduk lemas. Tidak mungkin. Hatiku benar-benar berontak.

Abah menghampiriku dan merangkulku untuk mendekat ke jasad Mama. Kakiku tidak cukup kuat untuk menopang badanku yang semakin lemas. Kuusap wajah dan kukecup keningnya. Aku berbisik di telinganya.

“Ma, Bangun. Kita belum jalan-jalan ke Taman Sari seperti yang Mama pernah minta ke Rayya dulu. Kita belum minum Es Dawet Mbah Hari di Bringharjo, Ma. Mama bangun, Ma…” Tangisku pecah. Nisa memelukku. Tuhan, mengapa takdir ini begitu sakit.

###

Hari ini adalah hari ketujuh kepergian Mama. Esok adalah kepulanganku kembali ke Surabaya. Ketika memesan tiket kereta, aku sudah merencanakan untuk menginap selama satu minggu di Kota Gede. Ternyata waktu seminggu itu adalah waktu yang benar-benar disiapkan semesta untukku melepas kepergian Mama. Aku benar-benar terpukul. Dua kali kedatanganku ke Jogja adalah dua hari terkelam dalam hidupku. Apa yang direncanakan Tuhan sehingga aku harus merasakan kehilangan saat aku mendatangi kota ini.

“Jadi berangkat besok, Nduk?” tanya Abah saat aku berkemas di dalam kamar.

Aku mengangguk.

“Abah akan selalu merindukanmu, Nduk. Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, bagian dari keluarga ini.”

Lelaki tua itu memelukku erat. Aku paham betul bagaimana ia telah menahan rasa sakit setelah kepergian anak laki-lakinya. Pun sekarang setelah kepergian istrinya. Namun, aku juga paham jika lelaki tua di depanku ini adalah sosok terkuat yang pernah aku temui.

“Jaga diri kamu baik-baik ya, Nduk. Jangan pernah takut untuk datang ke Jogja.”

Nggih, Abah.”

Aku tidak mampu berkata banyak. Tangisku cukup menjawab betapa hatiku sangat berat menghadapi takdir yang begitu pekat.

“Abah juga jaga kesehatan, nggih. Kalau ada apa-apa Abah telepon Rayya.”

“Tenang saja, Nduk. Abah tidak serapuh itu. Abah menyerahkan semua kepada Gusti Allah. Kita semua cuma lakon yang siap kapanpun diambil lagi oleh-Nya.”

Aku memegang erat tangan keriput itu.

“Terimakasih telah menganggap Rayya sebagai bagian dari keluarga ini, Bah.”

Aku mencium kedua tangan yang tampak semakin keriput itu.

Abah meninggalkanku sendirian di dalam kamar. Aku meletakkan pakaian yang sudah kulipat ke dalam koper. Setelah itu, kuambil jaket yang kutaruh di dinding. Aku teringat sesuatu. Kumasukkan tanganku ke dalam saku jaket itu dan kutemukan kertas yang diselipkan Vino untukku. Sebaris nomor telepon.

Aku mengambil ponsel dan menyentuh layarnya untuk menuliskan sebaris nomor itu. Ragu aku memencet tombol panggil. Namun, akhirnya kupencet juga. Beberapa detik nada dering mengalun. Lalu kuputus panggilan itu. Aku memutuskan untuk mengirim pesan saja.

Ini aku, Rayya. Maaf baru menghubungimu sekarang. Bisa ketemu nanti malam jam 7 di Pendopo Lawas?

Hanya beberapa detik pesanku dibalas.

Sure. Sampai ketemu nanti.

Nisa mengantarku dulu ke Pendopo Lawas. Ia akan pergi dengan temannya. Namun, sebelum pergi ia temani aku dulu duduk sebentar sambil menunggu Vino datang.

Laki-laki itu datang dengan jaket hoodie warna abu dan warna jeans senada. Aku melambaikan tangan saat ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia lantas menghampiriku dengan senyum.

“Hei. Udah lama nunggu?”

“Enggak. Masih sebentar kok. Vin, kenalin ini Nisa, adiknya Kak Fikri.”

“Hai. Nisa.”

“Vino. Nice to meet you.”

Nisa membalasnya dengan senyum.

“Ya udah, Mbak. Kak Vino kan udah datang. Nisa pergi dulu ya. Nanti Mbak Rayya telepon Nisa aja kalo udah mau pulang.”

“Makasih ya, Nis.”

Nisa tersenyum, memelukku sebentar lalu pergi.

Aku memesan secangkir cappuccino sedangkan Vino memesan kopi hitam. Setelah meneguk cangkir masing-masing, aku mulai berbicara. Aku merasa jika aku membutuhkan tempat untuk meluapkan tangis. Menyandarkan bahuku ke Nisa, memeluk erat Abah atau menelopon Bunda dan Ayah ternyata belum cukup membuatku kuat untuk menghadapi takdir yang terlalu menyakitkan ini.

“Mama pergi, Vin. Mama meninggal sehari setelah kedatanganku.”

My God! Rayya. Are you okay?”

“Aku ga cukup kuat untuk merasa baik-baik saja, Vin. Dunia ini terlalu jahat buatku. Takdir ini terlalu sakit. Kenapa setiap kali kedatanganku ke sini setiap itu pula harus ada yang pergi? Seburuk itukah aku?”

Aku tidak mampu lagi mengontrol tangis. Vino bangkit dan memelukku.

Stop saying that it’s your fault, Ya. Ini takdir. Kita ga akan pernah bisa melawan takdir.”

Pelukan itu menjadi tempat kutumpahkan segala penat dan sesal di dada. Tidak ada suara, hanya isak tangisku yang tak bisa berhenti. Seketika itu aku sadar pada siapa kubersandar. Aku melepas pelukan itu dan menangkupkan kedua tanganku ke wajah.

“Tapi takdir ini terlalu sakit, Vin. Orang-orang yang aku sayangi selalu pergi ketika aku justru ingin menjemput bahagia bersama mereka.”

“Ya, trust me! Semesta selalu baik dengan rencananya.”

“Apakah takdir ini yang kamu sebut baik, Vin? Tidak.”

Ia meletakkan kedua tanganku di atas meja. Dipegangnya tanganku erat. Bola matanya berhenti tepat di depan mataku.

“Rayya, believe me! It will over soon.”

Aku tidak menjawab.

“Aku pulang ke Surabaya besok. Thanks ya udah nemenin aku selama di Jogja.”

“Keretamu jam berapa besok?”

“Jam 8. Aku diantar Nisa ke stasiun.”

“Aku temenin kamu sampai keretamu jalan, ya?”

“Enggak perlu, Vin. Thanks so much.”

Sepertinya Vino tahu jika aku butuh waktu untuk sendiri. Meski ia berusaha mendekatiku, aku merasa jika ia paham mengapa aku seperti ingin kita berjarak.

“Hubungi aku kalo kamu ada perlu apa-apa, Ya. It’s fine if I can help you.”

“Termasuk kalo aku butuh temen buat ke Aussie?” Tiba-tiba kalimat yang meluncur dari mulutku membuat suasana mencair.

Sure. Itu pasti, Ya.”

Vino menatapku lekat. Terimakasih atas keteduhan mata itu, Vin.

Sabtu, 13 Januari 2024

Novel - All About You (Bagian 1)



Bagian 1

Menjemput Rindu

Deretan rumah penduduk memenuhi sepanjang mataku saat melihat ke arah jendela. Pagi ini Argo Wilis membawaku dari Stasiun Gubeng Surabaya menuju Jogja. Pukul dua belas tepat nanti aku akan sampai di Stasiun Tugu. Kali ini adalah kali kedua aku pergi ke kota pelajar itu pascakelulusanku.

Perjalananku kali ini membutuhkan kekuatan yang lebih. Aku sempat tidak ingin menginjakkan kakiku kembali ke Jogja. Aku marah pada takdir yang telah merenggut kebahagiaanku di kota itu. Namun, perubahan harus muncul dari diriku sendiri. Aku tidak ingin hatiku tersakiti terlalu lama. Aku ingin bernafas lega.

Namaku Rayya. Aku lulus dari salah satu universitas negeri di Jogjakarta dua tahun silam. Setelah wisuda, aku hanya sekali kembali ke kota itu untuk pertemuan dua keluarga. Sekarang aku pergi ke sana untuk sebuah tujuan yang berbeda.

Kondektur memberi informasi jika kereta akan berhenti di stasiun Jombang. Aku merapikan jaketku dan memasang headset. Perjalanan ini masih jauh. Aku ingin tidur sebentar.

Suara laki-laki membangunkanku.

“Permisi, Mbak. Kursi saya 18 B.”

Dengan mata yang masih terpejam aku mengangguk dan membalasnya, “Silakan, Mas.”

Lima belas menit berlalu dan aku terbangun untuk mengambil air mineral di dalam tas. Aku terperanjat saat melihat wajah lelaki yang duduk sebelahku seperti tidak asing. Ia sedang memejamkan mata. Sepertinya ia tertidur pulas.

Air mineral yang kuteguk seharusnya segar. Namun, ia seperti belum mampu menghapus dahagaku. Aku mencoba untuk memejamkan mata sekali lagi tapi ia tidak mau terpejam. Kuedarkan pandangan ke luar jendela. Hamparan sawah nan hijau dan gunung menjulang nun jauh di sana menemani hatiku yang berkecamuk. Lelaki itu, lelaki yang sedang duduk di sebelahku seketika itu juga membuat hatiku seperti diguncang hebat.

“Rayya,” panggilnya sesaat setelah ia terbangun.

“Kamu Rayya, kan?” Ia bertanya sekali lagi.

“Vino? Ini kamu?”

Aku mencoba menutupi kegugupannku dengan senyum.

Lelaki itu memakai kaus berwarna hijau yang dibalut dengan kemeja flannel warna serupa dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Ia memakai topi chrocet warna abu dan earbud di telinga. Style celana jeans dan sepatu converse warna hitam putih ini masih sama seperti dulu, saat langkah kaki itu menemaniku menghapus rindu.

“Rayya, apa kabar? Aku gak percaya bisa ketemu kamu di sini. Mau kemana?”

“Jogja. Kamu apa kabar, Vin?”

As what you see.”

Ia tersenyum dan senyumnya masih menawan.

Shit. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi. Aku kira semua rasa itu sudah selesai. Namun, kenapa hatiku berdebar. Mata itu, bibir itu, sosok itu dengan sekejap mengingatkanku pada jutaan kenangan yang telah lama terkubur dalam.

“Kamu mau kemana, Vin?”

“Sama. Aku tinggal di Jogja sekarang. Kamu? Gimana kuliahmu di Jogja? Udah selesai ya?”

Aku tersentak. Kenapa ia bisa tahu jika aku kuliah di Jogja? Bukankah kita berpisah  saat tahun pertama SMA?

“Kaget? Lupa ya kalau aku sempat follow semua sosmedmu sebelum ada yang blokir aku tiba-tiba.” Ia tertawa.

Aku tersipu. Aku ingat saat itu tahun pertamaku kuliah. Aku sangat terganggu dengan kehadirannya di dunia maya. Kuputuskan untuk memblokir semua akun yang terhubung dengannya. Aku pikir kita berdua sudah selesai.

“Kamu gimana sekarang, Vin? Lagi sibuk apa?”

Aku bertanya untuk mencairkan suasana.

“Pengangguran.” Tawanya renyah.

Aku memicingkan mata lalu membalasnya dengan senyum.

Kereta melaju dengan anganku yang semakin tak tentu arah. Aku mengingat kembali tujuanku pergi ke Jogja adalah untuk menemui kenangan tentangmu, lelaki yang selama empat tahun menemaniku. Namun, dalam perjalananku menemuimu mengapa harus kutemui dirinya, lelaki yang pernah mengisi hatiku saat wangi remaja baru saja kuhirup. Meski hanya satu tahun tapi kenangan itu masih membekas jelas, terlalu indah.

Aku berdiri tepat ketika kereta berhenti. Aku bermaksud mengambil koper yang kutaruh di rak bagasi. Ia langsung berdiri untuk membantuku.

“Ada bagasi? Wait. Aku bantu.”

Aku menunjukkan yang mana koperku dan mengucapkan terima kasih saat koper sudah di tangan. Ponselku berbunyi. Sebuah panggilan dari Nisa.

Aku menerima panggilan itu sembari berjalan ke luar kereta.

“Keretanya baru berhenti. Kamu ndak usah khawatir. Nanti saya langsung ke rumah ya. Siap. Akan saya kabari nanti.”

Lelaki itu masih di belakangku saat aku menutup telepon. Ia kemudian mengajakku duduk di deretan pedagang kaki lima di dalam stasiun. Aku menyelonjorkan kaki sambil memainkan gawai. Sebotol minuman isotonik disodorkannya kepadaku.

“Terimakasih,” jawabku.

“Janjian sama temen?”

“Enggak. Dia ga bisa jemput. Jadi aku pakai grab nanti ke sana.”

“Bareng sama aku aja. Tujuanmu kemana?”

“Kota Gede.”

“Buru-buru atau gimana?”

“Enggak juga, sih. Santai aja.”

“Ikut aku dulu, yuk! Jalan-jalan bentar di Malioboro. Mau?”

Aku terhenyak. Aneh sekali. Setelah bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu atau berhubungan sekalipun dengan mudahnya ia mengajakku jalan. Aku ingin menolak tapi hatiku berontak. Sepertinya ada rindu yang mengetuk hatiku.

Setelah membantuku menitipkan koper di stasiun, ia mengajakku berjalan kaki menyusuri lorong stasiun. Kami menyeberangi rel kereta api menuju arah pedestrian. Lelaki itu sama seperti dulu. Ia selalu ceria dengan lelucon konyol yang dilemparkannya kepadaku. Praktis, aku tidak merasakan lelah sama sekali meski jarak stasiun dan jalan Malioboro cukup memakan waktu dengan berjalan kaki.

“Makan, yuk! Kamu sudah pernah coba nasi gudeg di belakang Pasar Bringharjo?”

Aku menggeleng.

“Yuk!”

Sepiring gudeng menggugah selera sudah di tangan. Perpaduan sayur nangka muda, koyor dan telur rebus berbumbu membuat perutku meronta. Perjalanan kereta yang hampir lima jam ini membuat perutku lapar.

“Oh ya, katanya kamu sekarang tinggal di Jogja. Tinggal Dimana? Udah lama?”

Aku tidak tahan bersamanya tanpa suara.

“Masih setahun ini. Aku tinggal di daerah Sosrowijayan.”

“Oh,” gumamku.

“Kamu sekarang kerja di Surabaya?”

Aku mengangguk. Ia kemudian bercerita. Seperti memahami segala pertanyaan yang masih berputar di otakku.

“Setahun ini aku sama temenku buka usaha kecil-kecilan di daerah Sosrowijayan. Sablon kaos dan sticker gitu. Beberapa hari yang lalu aku pulang ke Jombang buat jenguk ibu.”

“Eh, Ibu apa kabar? Lama ya ga denger suara ibu.”

“Baik. Kangen kamu katanya.”

Aku tertawa. Tidak mungkin. Bertemu dengan perempuan yang ia panggil ibu itu saja aku tidak pernah. Hanya mengobrol via telepon. Dulu, masih jaman wartel lelaki itu selalu memaksaku mengobrol dengan ibunya. Ah, lelaki itu memang pintar membuatku tersipu.

“Sebenarnya tiap pulang ke Jombang aku ga pernah naik kereta loh, Ya.”

“Naik apa? Vespa?” Aku tertawa. Spontan aku menyebut kata vespa karena memang sejak SMP Vino menyukai jenis kendaraan itu.’

“Bener banget. Ga tau kenapa kemaren males aja. Jadi berangkat sama balik pesen tiket kereta sekalian. Ternyata semua ini ulah semesta ya, Ya. Kenapa bisa banget aku pesen tiket yang pas kamu juga ada di sana. Eh dapet bonus kursinya kita sebelahan. Semesta emang baik banget ngaturnya.” Kami berdua tertawa lepas. Lepas sekali.

“Oh ya, kamu udah nikah?”

Pertanyaannya membuatku kaget. Segera kuteguk botol air mineral di sebelahku.

“Belum.” Aku menjawab singkat.

Setelah itu, tidak ada suara satupun. Aku melanjutkan makan hingga sendok terakhir. Setelah mengelap mulutku dengan tisu, aku memutuskan untuk menceritakan tujuan kedatanganku ke Jogja.

“Waktu kuliah, aku dekat sama kakak tingkat. Dia asli Jogja. Setelah wisuda, dia memutuskan untuk melamarku. Keluarganya pergi ke Surabaya. Beberapa bulan setelah itu, keluargaku ke Jogja untuk membahas lebih jauh rencana pernikahan kami. Tapi takdir berkata lain. Saat ia menjemput kami di stasiun, mobilnya mengalami kecelakaan. Beberapa jam setelahnya, ia dinyatakan meninggal.”

Vino diam. Ia menatapku tajam.

“Aku marah pada kenyataan. Aku datang untuk menjemput masa depan tapi Tuhan justru mengambilnya duluan. Ironis ya. Pasca kejadian itu, aku ga pernah mau pergi ke Jogja. Jogja itu udah kayak mimpi buruk buat aku.” Aku tersenyum kecut.

I am sorry to hear that. Lalu sekarang kamu ke sini? Udah kuat?”

“Harus.” Aku tersenyum.

“Mamanya Kak Fikri sakit. Beliau pengen ketemu aku. Kata Nisa, Mama cariin aku, panggil-panggil aku terus. Yang tadi telepon aku itu Nisa, adiknya Kak Fikri. Aku harus kuat buat ketemu Mama. Mama butuh banget aku di sana. Aku ga boleh egois. Aku harus bisa mengalahkan sakit hatiku pada keadaan. Mama sudah kehilangan Kak Fikri, anak laki-laki satu-satunya. Bagi Mama, melihatku sama dengan melihat Kak Fikri,” lanjutku.

“Oh ya, kamu sendiri gimana? Anak kamu udah kelas berapa sekarang?”

Pertanyaan yang seperti tercekat di tenggorokan itu akhirnya keluar. Aku ingat bagaimana kami berpisah. Kami bersama saat kelas tiga SMP. Kemudian kami lulus dan berbeda SMA. Saat itu, aku mendapat kabar jika ia harus berhenti sekolah karena suatu hal yang membuatku membencinya.

We are divorced. Cuma dua tahun kami menikah, Ya. Kami cerai setelah anak kami meninggal karena suatu penyakit. Aku belum punya cukup biaya untuk pengobatannya.”

“Oh.” Aku tidak berkomentar apapun.

“Siapa sih Ya yang mau punya suami pengangguran, enggak well-educated. Cuma lulusan SMP dan ga punya kerjaan tetap. Ya udah kalau perceraian itu yang terbaik. Dia udah nikah lagi sekarang. Sedangkan aku masih gini-gini aja.” Vino tertawa.

“Pasca perceraian itu. Aku ke Jogja. Tujuanku mau ketemu kamu. Itulah kenapa aku resek ke kamu via sosmed. Eh, tahu-tahu aku diblok.”

Kami berdua tertawa.

“Setelah itu ada yang ngajak aku ke Aussie. Aku kerja di sana. Cuma kerja kasar, sih. Tapi cukup buat kirim uang bulanan ke Ibu dan makan sehari-hari.”

“Oh, jadi itu kenapa dari tadi ngomongnya pakai inggris-inggris terus.” Aku mendorong bahunya. “Keren dong ya udah ke luar negeri. Naik pesawat. Aku aja masih belom pernah ke luar negeri,” lanjutku.

“Mau ke luar negeri? Sama aku? Yuk!”

Aku mendorong bahunya sekali lagi.

“Main ke toko, Yuk! Aku kenalin kamu ke temen-temen aku. Mau?” ajaknya.

“Boleh.”

###

“Hallo. Nisa, saya sampai rumah sepertinya sore. Saya masih ketemu temen. Enggak usah. Nanti saya balik ke stasiun lagi. Koper masih di stasiun. Ndak usah repot-repot, Nis. Oh gitu.. Ya udah deh. Nanti saya kabari kalau sudah di stasiun.” Panggilan dari Nisa aku tutup.

Kuedarkan mataku ke sekeliling. Toko yang bagiku seperti sebuah galeri ini cukup artistik. Bangunannya berlantai dua dan cukup luas. Di lantai bawah, ruang depan dan belakang disekat dengan dinding kaca. Pengunjung bisa melihat display kaus di ruang depan dan proses sablon kaus di ruang belakang dapat dilihat dari dinding kaca itu.

“Ke atas, Yuk!” ajak Vino.

Ruangan di atas dibagi beberapa sekat. Dari arah tangga, pengunjung bisa melihat berbagai kegiatan mulai dari cutting sticker hingga jadi. Ada semacam balkon yang berisi meja kursi dengan hiasan lampu artistik di atasnya. Lebih ke dalam lagi, ada ruangan-ruangan kecil dan kamar mandi. Sepertinya ruangan itu adalah tempat istirahat untuk karyawan.

“Kamu tinggal di sini?” tanyaku saat memasuki ruangan persegi itu. Ada kasur lantai dan sebuah lemari kayu. Ada meja kecil dan laptop di atasnya.

Vino mengangguk.

“Ya bisa dibilang aku dan satu temanku ini penanam saham utama. Jadi kami berdua berhak tinggal di sini.”

“Oh, CEO Perusahaan Sablon sepertinya.” Aku tertawa. “Bercanda, Vin.”

“Tidak apa-apa, Ya. Paling tidak sekarang aku punya modal untuk bisa aku banggakan di depan orang lain. Dulu, siapa yang mau punya temen kayak aku. SMA harus putus sekolah karena menghamili anak orang. Menikah dan diberi cobaan dengan penyakit yang diderita anakku, Ya. Anakku cerebral palsy. Hanya bertahan dua tahun lalu meninggal. Aku bekerja serabutan dengan hanya mengandalkan ijazah SMP. Lebih ironis mana hidupku sama hidupmu, Ya?” Vino tetap tersenyum. Aku tahu senyumnya adalah satu-satunya alat untuk membuatnya bertahan dengan segala keadaan.

Vino, lelaki itu. Kami satu SMP. Ibunya menitipkannya di rumah tantenya di Surabaya. Ayahnya sudah berpulang saat ia TK. Hidupnya sudah berat. Masa sekolah dasarnya ia gunakan untuk membantu ibunya berjualan di pasar. Lelaki itu telah kenyang asam garam kehidupan di usianya yang masih belia. Maka tidak heran jika masa SMP daya pikirnya sudah jauh di atas usia sebayanya. Kami bersama saat kelas tiga SMP. Bukan pacaran tapi lebih ke sahabat dekat. Saat SMA, kami masih di kota yang sama tapi berbeda sekolah. Disitulah kebersamaan kami berkurang hingga akhirnya aku mendengar kabar itu. Kabar yang benar-benar membuatku muak jika aku pernah bersahabat dan menaruh rasa kepadanya.

“Duduk, Ya. Aku ambilkan minum.”

Ia mengambil sebotol air mineral dingin dari lemari pendingin yang berada di dekat pintu balkon. Dari balkon tersebut ada tangga luar yang terhubung dengan teras toko. Jadi pengunjung bisa menikmati pemandangan dari atas balkon dengan menaiki dua tangga, dari dalam dan luar toko. Biasanya pengunjung menunggu pesanan dengan duduk di sana atau sekadar duduk santai menikmati langit sore Jogja.

“Nanti aku antar ke stasiun ya, Ya. Nisa jemput kamu jam berapa?”

“Jam 4 katanya.”

“Mau naik vespa? Aku belum punya mobil, Ya.”

Aku tersenyum dan mengangguk.

###

“Mbak Rayya…”

Nisa memanggil dan melambaikan tangan ke arahku. Bergegas aku menuju perempuan berkerudung warna salem yang berdiri di sebelah Honda Brio berwarna abu. Kutengok sebentar lelaki di sebelahku ini dan kujabat tangannya.

Nice to meet you, Vin. Semoga kita bisa bertemu kembali.”

“Pasti, Ya. Semesta akan mengatur segalanya.” Ia menjabat tanganku erat. Diselipkannya kertas kecil di sana. Sebaris nomor telepon.

Aku memeluk Nisa. Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Takdirku yang menjadi anak tunggal membuatku tidak mengerti bagaimana rasanya punya kakak dan adik. Dari Kak Fikri dan Nisa aku mampu merasakan itu semua. Kak Fikri dan Nisa adalah dua bersaudara. Bagi keluarga mereka, aku seperti anak tengah. Empat tahun bersama kak Fikri adalah empat tahun terindah aku bersama keuarga itu.

“Teman kuliah, Mbak?” tanya Nisa.

“Bukan. Teman SMP. Ketemu di kereta. Kebetulan tinggal di Jogja sekarang. Semuanya baik-baik saja kan, Nis?”

“Seperti yang selama ini Nisa ceritakan, Mbak. Mama benar-benar terpukul. Abah sudah tidak tahu lagi harus membawa Mama berobat kemana. Terkadang Mama bisa baik banget. Kadang bisa marah-marah ndak jelas dan suka lempar-lempar barang di kamar. Beberapa hari ini Mama cuma bisa berbaring di ranjang. Mama sering tidur. Dalam tidurnya, Mama suka mengigau. Dan nama yang sering ia sebut dalam tidurnya hanya nama Mbak Rayya.”

Aku terpukul. Aku tahu betapa Mama sangat menginginkan pernikahan ini. Kata Mama, memiliki aku sebagai menantunya adalah anugerah. Aku tak tahu apa alasannya. Menurutku, aku adalah perempuan biasa dan sikapku juga biasa. Namun, mereka sangat baik kepadaku. Pun dengan Kak Fikri, Bunda dan Ayah sangat mencintai Kak Fikri. Mereka sangat percaya jika Kak Fikri adalah lelaki yang tepat untukku.

Mobil masuk ke dalam pagar kayu berwarna cokelat. Di dalam pagar itu, halaman berumput tampak luas. Sebuah bangunan kayu jati berbentuk joglo dengan arsitektur jawa kuno berdiri kokoh di tengah halaman itu. Mbok Darmi, perempuan paruh baya yang mengabdi di rumah ini menghampiri kami yang baru saja turun dari mobil.

“Mbak Rayya, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu nggih, Mbak,” sapa Mbok Darmi.

Nggih, Mbok. Sehat, Mbok?”

“Alhamdulillah sehat, Mbak.”

Mbok Darmi mengangkat koperku ke dalam. Nisa menmpersilakanku masuk ke dalam rumah. Silakan istirahat dulu, Mbak. Bersih-bersih dulu. Sambil nunggu Abah pulang. Nanti jam makan malam kita ketemu di ruang makan ya. Baru nanti kita ke kamarnya Mama.

Aku mengangguk. Nisa membawaku ke kamar ini. Ini adalah kamar milik Kak Fikri. Membuka pintunya, dadaku terisak. Ada udara yang menguar masuk menerobos relung hatiku yang paling dalam. Kebersamaan selama empat tahun itu tidaklah sebentar. Kuhampiri ranjang kayu dengan sprei putih itu. Kuambil sebuah pigura kecil di atas nakas. Ada foto kami di dalamnya, saat kami berdua sedang menikmati kokohnya Candi Prambaban. Air mataku menets. Aku ingat bagaimana Kak Fikri berjanji kepadaku untuk segera meminangku selepas aku lulus kuliah. Katanya, cintanya terlalu kokoh seperti kokohnya candi. Aku tersenyum. Namun, senyum itu tak mampu melawan tangisku yang semakin menjadi. Aku rindu. Rindu yang teramat sendu.

###

“Sehat, Nduk?”

Abah berdiri menyambutku yang baru saja keluar kamar.

Sae, Bah. Njenengan?”

Apik. Lungguh, Nduk!”

Abah mempersilakan aku duduk.

“Keluarga kabeh sehat yo, Nduk?”

Nggih, Bah. Alhamdulillah.”

“Silakan dimakan, Mbak. Kita ke kamar Mama setelah ini,” pinta Nisa.

Ruangan itu harum. Mama suka meletakkan aroma therapy dengan wangi mawar di ujung kamar. Mama tidur pulas. Nisa membangunkannya karena sudah waktunya makan.

“Ma, bangun, Yuk! Makan dulu, ya. Lihat Nisa sama siapa?”

Mama membuka mata. Nisa membantunya duduk bersandar dengan bantal di belakangnya.

“Rayya… Ini kamu, Nduk?”

Nggih, Ma. Mama sehat?”

Aku tak kuasa membendung air mata. Mama memelukku erat. Hangat yang kurasakan semakin membuatku teriris. Kerinduan yang membuncah itu kini melebur jadi satu. Aku seperti melihat senyum Kak Fikri di antara pelupuk mataku.